oleh: Hepi Andi
Jika imperium Kristus di Asia Tenggara benar-benar berdiri, tak hanya akan memporak-porandakan keutuhan bangsa, tapi juga martabat kemanusiaan akan diinjak-injak. Jejak berdarah pasukan salib dalam sejarah, masih basah.
Di balik upaya AS memberangus gerakan Islam sebenarnya tersembunyi niat busuk teramat jahat; ingin mendirikan imperium Kristus di Asia Tenggara. Ambisi ini telah direncanakan sejak beberapa tahun silam. Berbagai bukti pun mulai terkuak, baik melalui penemuan dokumen rahasia maupun aksi yang mereka gelar.
Jika ambisi ini terwujud, sebenarnya, bukan umat Islam saja yang patut khawatir, tapi juga dunia. Sebab, jika komunitas ini berkuasa, ia tak hanya menghancurkan keutuhan suatu bangsa, tapi juga menginjak-injak martabat masyarakatnya, tanpa pandang bulu. Slogan kasih yang mereka hembuskan hanyalah isapan jempol yang manis di bibir tapi pahit dirasakan.
Ketika Baitul Maqdis jatuh ke tangan pasukan Salib pada 15 Juli 1099, terjadilah keganasan luar biasa yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia. Seorang ahli sejarah Perancis, Michaud menyebutkan, “Ketika orang Kristen menaklukkan Jerussalem pada 1099, kaum muslimin dibantai di jalan-jalan dan di rumah-rumah. Jerussalem tidak punya tempat lagi bagi mereka yang kalah. Beberapa orang berusaha mengelak dari kematian dengan cara mengendap-endap dari benteng, yang lain berkerumun di istana dan berbagai menara untuk mencari perlindungan terutama di masjid-masjid. Namun, mereka tetap tidak bisa menyembunyikan diri dari kejaran orang-orang Kristen itu.”
Aksi pembantaian hanya berhenti beberapa saat, yakni ketika pasukan Salib berkumpul untuk merayakan upacara kemenangan mereka. Setelah upacara itu selesai, pembantaian diteruskan lebih ganas lagi. Michaud melanjutkan, “Orang-orang Islam dipaksa terjun dari puncak menara dan bumbung-bumbung rumah. Mereka dibakar hidup-hidup, diseret dari tempat persembunyian bawah tanah, dan digantung di tiang gantungan.”
Jejak berdarah pasukan Salib di Bosnia pada 1992 pun masih basah dalam ingatkan kita. Kaum muslimin, khususnya para ulama dibantai di depan keluarga mereka sendiri oleh pasukan Serbia. Seperti ditulis Muhammad Abdul Mun’im dalam karyanya al-Bushna wal Hersik Ummah Tudzbah wa Syu’ab Yubaa’, para pemuda muslim ditelanjangi. Jika mereka diketahui dikhitan berarti muslim, yang harus dibinasakan. Tempat tinggal kaum muslimin dimusnahkan. Tak boleh ada atap yang tersisa. Kaum muslimin yang masih bertahan hidup dipaksa menyingkir, bukan untuk mengungsi, tapi pergi selama-lamanya. Di beberapa tempat, pasukan ganas Serbia menunggu kaum muslimin yang tengah melaksanakan shalat di masjid. Mereka memaksa keluar dua orang muslim dan menyiksanya. Setelah itu pasukan Serbia segera memuntahkan isi senjatanya ke arah jamaah kaum muslimin yang tengah beribadah. Hari itu, ratusan kaum muslimin dibantai, syahid di tangan pasukan Serbia.
Di beberapa tempat lainnya, mereka mendirikan tenda-tenda dan menyekap para muslimah yang menjadi tawanan. Setelah dirusak kehormatannya, mereka dibunuh dengan keji dan tanpa welas asih. Para muslimah yang sedang hamil dibelah perutnya, lalu dibunuh seperti binatang.
Pembantaian di negeri kita sendiri tak kalah kejinya. Ketika tragedi Poso meletus pada 1998, ratusan muslim dibantai. Diceritakan, ketika pasukan Salib yang menamakan diri Kelelawar Hitam, berhasil menguasai Pesantren Wali Songo, puluhan warga dibariskan menghadap Sungai Poso. Mereka dihimpun dalam beberapa kelompok yang saling terikat. Ada yang tiga orang, lima, enam atau delapan orang. Tangan mereka diikat ke belakang satu sama lain dengan kabel, ijuk, atau tali rafiah.
Sebuah aba-aba memerintahkan agar mereka membungkuk. Secepat kilat pedang yang dipegang para algojo haus darah itu berkelebat memenggal tengkuk mereka. Bersamaan dengan itu, terdengar teriakan takbir. Ada yang kepalanya langsung terlepas, ada pula yang setengah terlepas. Ada yang anggota badannya terpotong, ada pula badannya terbelah. Darah segar pun muncrat. Seketika itu pula tubuh-tubuh tidak berdosa itu bergelimpangan ke sungai.
Bersamaan dengan itu, air sungai Poso yang sebelumnya bening berubah warna menjadi merah darah. Sesaat tubuh orang-orang yang dibantai itu menggelepar meregang nyawa sambil mengikuti aliran sungai. Tidak semuanya meninggal seketika, masih ada yang bertahan hidup dan berusaha menyelamatkan diri. Namun, regu tembak siap menghabisi nyawa korban sebelum mendapatkan ranting, dahan, batang pisang, atau apapun untuk menyelamatkan diri.
Itulah salah satu babak dalam tragedi pembantaian umat Islam di Poso, Sulawesi Tengah beberapa waktu lalu. Warga Pesantren Walisongo merupakan salah satu sasaran yang dibantai. Di komplek pesantren yang terletak di Desa Sintuwulemba, Kecamatan Lage, Poso ini tidak kurang 300-an orang yang tinggal. Mulai dari ustadz, santri, pembina, dan istri pengajar serta anak-anaknya. Tak seorang pun tersisa. Sebagian besar dibantai, sebagian lainnya lari ke hutan menyelamatkan diri. Bangunan yang ada dibakar dan diratakan dengan tanah.
Identitas para pembantai sudah sangat jelas. Mereka adalah orang-orang Kristen yang dikenal dengan Pasukan Kelalawar Hitam. Dalam aksinya mereka mengenakan pakaian serba hitam. Salib di dada dan ikat kepala merah. Mereka juga sering disebut degan Pasukan Merah.
Selain di Pesantren Walisongo, penyerangan dan pembantaian juga dilakukan di sejumlah tempat. Tercatat 16 desa yang penduduknya mayoritas Muslim kampungnya hancur dan terbakar. Dari arah selatan Poso, kerusakan hingga mencapai Tentena. Dari arah Timur hingga Malei, sari arah Barat hingga Tamborana.
Mengapa mereka begitu bersemangat untuk menguasai Indonesia? Menurut seorang penginjil dan sejarawan Kristen Dr Berkhof, Indonesia adalah daerah pekabaran Injil yang sudah ratusan tahun menguasai negeri bibit firman Tuhan. Misi Kristen di Indonesia telah mencapai banyak kesuksesan. Berkhof mengklaim, jumlah orang Kristen Protestan mencapai 13 juta lebih-di saat penduduk Indonesia berjumlah 150 juta jiwa (8,7 persen).
Pada akhir dekade 1990, saat penduduk Indonesia mencapai 200 juta jiwa, kaum Kristen Protestan malah mengklaim, jumlah mereka sudah mencapai 20 persen akibat sukesnya misi Kristen. Mereka menolak jika dikatakan jumlahnya hanya 5-6 persen. Seorang tokoh Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), Dr AA Yewangoe mencatat dalam buku Gereja dan Reformasi, bahwa jumlah orang Kristen di Indonesia, sudah mencapai 16-17 persen. “Kalau lebih optimis 20 persen. Malah bisa lebih,” katanya.
Yewangoe menolak data resmi pemerintah yang menyebutkan bahwa jumlah orang Kristen hanya 5-6 persen. Padahal, berdasarkan Survei Penduduk Antar Sensus (supas) yang dilakukan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 1990, tercatat, bahwa dari 200 juta jiwa penduduk Indonesia persentase umat Islam adalah 87,3%. Sementara umat Kristen (Protestan) 6%, Katolik 3,6%, Hindu 1,8%, Budha 1%, serta lain-lain 0,3%.
Jadi, klaim bahwa umat Kristen sudah mencapai 20 persen (lebih) adalah klaim yang sangat berani. Kalau klaim mereka itu benar, berarti jumlah orang Kristen di Indonesia sudah mencapai 40 juta jiwa. Jumlah yang sangat besar! Anehnya, kaum Muslim menganggap sepi-sepi saja perkembangan mereka.
Padahal, bagi kaum Kristen, soal jumlah sangat penting. Mereka begitu sensitif dalam soal ini, sehingga melakukan gerakan pengusiran warga pendatang muslimin dari kantong-kantong Kristen, seperti Timtim, NTT, dan Maluku. Isu-isu anti transmigran Jawa di Irian Jaya sudah lama dihembuskan.
Saat jumlah kaum Kristen mencapai 50 persen atau lebih (Maluku, Irian Jaya, NTT, Timtim, Sulut), mereka akan memaksa kepala daerah orang seagama dengan mereka. Sedangkan kaum muslimin harus menuruti semua kehendak mereka.
Di daerah-daerah mayoritas Kristen tersebut, mereka menggunakan pedoman mayoritas-minoritas. Namun, pada level nasional, mereka menolak prinsip proporsionalitas berdasarkan asas mayoritas-minoritas. Mereka menuntut hak yang sama dengan mayoritas muslim, dan menolak data statistik resmi pemerintah.
Masih menurut Yewangoe, “Tetapi, memang persentase yang kecil itu dengan sengaja dikemukakan berulang-ulang agar kita dirasuki `sikap mental minoritas’. Sikap mental ini sangat berbahaya, apalagi kalau sudah memasuki generasi muda. Ini akan membawa mereka (dan kita sekalian) kepada minderwaardigheids complex (sifat rendah diri). Lalu terus-menerus menganggap diri warga negara kelas dua.” Karenanya, menurut Yewangoe, “Gereja-gereja harus tegas. Walaupun jumlah kita kurang dari orang lain, tidak berarti kita minoritas, lebih-lebih dalam proses pengambilan keputusan.”
Kaum Muslimin Indonesia hendaknya berhenti membanggakan kemayoritasannya, mengingat begitu besarnya “power” yang sudah digenggam kaum Kristen. Kalau kita lihat data dan fakta di atas, lalu kita hubungkan dengan berbagai temuan yang ada, nampaknya kita tengah menyaksikan jarum jam yang bergerak menuju berdirinya kerajaan besar bernama Imperium Kristus. Inilah proses yang sedang terjadi. Waspadalah!